PERSPEKTIF DALAM PSIKOLOGI SOSIAL
Akar
awal Psikologi Sosial
Walau psikologi sosial merupakan disiplin yang
telah lama ada ( sejak Plato dan Aristotle), namun secara resmi, disiplin ini
menjadi satu ilmu yang mandiri baru sejak tahun 1908. Pada tahun itu ada dua
buku teks yang terkenal yaitu "Introduction to Social Psychology"
ditulis oleh William McDougall - seorang psikolog - dan "Social Psychology
: An Outline and Source Book , ditulis oleh E.A. Ross - seorang sosiolog.
Berdasarkan
latar belakang penulisnya maka dapat dipahami bahwa psikologi sosial bisa
di"claim" sebagai bagian
dari psikologi, dan bisa juga sebagai bagian dari sosiologi. Psikologi sosial
juga merupakan pokok bahasan dalam sosiologi karena dalam sosiologi dikenal ada
dua perspektif utama, yaitu perspektif struktural makro yang menekankan kajian
struktur sosial, dan perspektif mikro yang menekankan pada kajian
individualistik dan psikologi sosial dalam menjelaskan variasi perilaku
manusia.. Di Amerika disiplin ini banyak dibina oleh jurusan
sosiologi - di American Sociological Association terdapat satu bagian yang
dinamakan "social psychological
section", sedangkan di Indonesia, secara formal disiplin psikologi
sosial di bawah binaan fakultas psikologi, namun dalam prakteknya tidak sedikit
para pakar sosiologi yang juga menguasai disiplin ini sehingga dalam berbagai
tulisannya, cara pandang psikologi sosial ikut mewarnainya.
Pertanyaan
yang paling mendasar yang senantiasa menjadi kajian dalam psikologi sosial
adalah : " Bagaimana
kita dapat menjelaskan pengaruh orang lain terhadap perilaku kita?'".
Misalnya di Prancis, para analis sosial sering mengajukan pertanyaan mengapa
pada saat revolusi Prancis, perilaku orang menjadi cenderung emosional
ketimbang rasional? Demikian juga di Jerman dan Amerika Serikat dilakukan studi
tentang kehadiran orang lain dalam memacu prestasi seseorang . Misalnya ketika
seorang anak belajar seorang diri dan belajar dalam kelompok, bisa menunjukan
prestasi lebih baik dibandingkan ketika mereka belajar sendiri. Gordon Allport
(1968) menjelaskan bahwa seorang boleh disebut sebagai psikolog sosial jika dia "berupaya memahami, menjelaskan, dan
memprediksi bagaimana pikiran, perasaan, dan tindakan individu-individu
dipengaruhi oleh pikiran, perasaan, dan tindakan-tindakan orang lain yang
dilihatnya, atau bahkan hanya dibayangkannya"
Teori-teori
awal yang dianggap mampu menjelaskan perilaku seseorang, difokuskan pada dua
kemungkinan
- perilaku diperoleh dari keturunan dalam bentuk instink-instink biologis - lalu dikenal dengan penjelasan "nature" –
- perilaku bukan diturunkan melainkan diperoleh dari hasil pengalaman selama kehidupan mereka - dikenal dengan penjelasan "nurture".
Penjelasan
"nature"
dirumuskan oleh ilmuwan Inggris Charles Darwin pada abad kesembilan belas di
mana dalam teorinya dikemukakan bahwa semua
perilaku manusia merupakan serangkaian instink yang diperlukan agar bisa
bertahan hidup. Mc Dougal sebagai seorang psikolog cenderung percaya bahwa
seluruh perilaku sosial manusia didasarkan pada
pandangan ini (instinktif).
Namun
banyak analis sosial yang tidak percaya bahwa instink merupakan sumber perilaku
sosial. Misalnya William James, seorang psikolog percaya bahwa walau instink merupakan hal yang mempengaruhi perilaku
sosial, namun penjelasan utama cenderung ke arah kebiasaan - yaitu pola perilaku yang diperoleh melalui pengulangan
sepanjang kehidupan seseorang. Hal ini memunculkan "nurture
explanation". Tokoh lain yang juga seorang psikolog
sosial, John Dewey mengatakan bahwa perilaku kita
tidak sekedar muncul berdasarkan pengalaman masa lampau, tetapi juga secara
terus menerus berubah atau diubah oleh lingkungan - "situasi kita" -
termasuk tentunya orang lain.
Berbagai
alternatif yang berkembang dari kedua pendekatan tersebut kemudian memunculkan
berbagai perspektif
dalam psikologi sosial = seperangkat asumsi dasar
tentang hal paling penting yang bisa dipertimbangkan sebagai sesuatu yang bisa
digunakan untuk memahami perilaku sosial. Ada empat perspektif,
yaitu :
- perilaku (behavioral perspectives)
- kognitif (cognitive perspectives)
- stuktural (structural perspectives)
- interaksionis (interactionist perspectives).
1.
Perspektif perilaku
menekankan,
bahwa untuk
dapat lebih memahami perilaku seseorang, seyogianya kita mengabaikan informasi
tentang apa yang dipikirkan oleh seseorang. Lebih baik kita memfokuskan pada
perilaku seseorang yang dapat diuji oleh pengamatan kita sendiri. Dengan
mempertimbangkan proses mental seseorang, kita tidak terbantu memahami perilaku
orang tersebut, karena seringkali proses mental tidak reliabel untuk
memprediksi perilaku. Misalnya tidak semua orang yang berpikiran negatif
tentang sesuatu, akan juga berperilaku negatif. Orang yang bersikap negatif terhadap
bangsa A misalnya, belum tentu dia tidak mau melakukan hubungan dengan bangsa A
tersebut. Intinya
pikiran, perasaan, sikap (proses mental) bukan sesuatu yang bisa menjelaskan
perilaku seseorang.
Sebaliknya,
2. Perspektif kognitif
menekankan
pada pandangan bahwa kita tidak bisa memahami perilaku seseorang tanpa
mempelajari proses mental mereka. Manusia tidak menanggapi
lingkungannya secara otomatis. Perilaku mereka
tergantung pada bagaimana mereka berpikir dan mempersepsi lingkungannya.
Jadi untuk memperoleh informasi yang bisa dipercaya maka proses mental seseorang merupakan hal utama yang bisa menjelaskan
perilaku sosial seseorang.
3. Perspektif struktural
menekankan
bahwa perilaku
seseorang dapat dimengerti dengan sangat baik jika diketahui peran sosialnya. Hal
ini terjadi karena perilaku seseorang merupakan
reaksi terhadap harapan orang-orang lain. Seorang mahasiswa rajin
belajar, karena masyarakat mengharapkan agar yang namanya mahasiswa senantiasa
rajin belajar. Seorang ayah rajin bekerja mencari nafkah guna menghidupi
keluarganya. Mengapa ? Karena masyarakat mengharapkan dia berperilaku seperti
itu, jika tidak maka dia tidak pantas disebut sebagai "seorang ayah".
4. Perspektif interaksionis
menekankan
bahwa manusia
merupakan agen yang aktif dalam menetapkan perilakunya sendiri, dan mereka yang
membangun harapan-harapan sosial. Manusia bernegosiasi satu sama
lainnya untuk membentuk interaksi dan harapannya.